Pengantar
Wajah Sehan adalah peran eksistensial yang dia mainkan
dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebetapapun peran itu masih bersifat
potensial dalam arti belum dapat sepenuhnya dia lakoni. Wajah Sehan dalam
bingkai dan maksud tulisan ini adalah juga tema bagi pembicaraan tentang Sehan
dalam amatan penulis. Tema yang daya tariknya terdapat dalam keterbukaannya
untuk dieksplorasi demi lahirnya pengertian yang mendalam, bukan hanya tentang
Sehan tapi juga tentang kaitan antara seorang manusia sebagai individu dengan
peran (dalam wajah-wajah) yang telah, sedang dan akan dia lakoni.
Secara psikologis, wajah dan perannya adalah juga
kepribadian; personae sebagai topeng.
Ini berarti juga berbicara tentang sebuah lubuk dalam jiwa (karakter mental)
seorang individu. Sehan adalah subyek sebagai aktor di atas panggung tulisan
ini. Lepas dari berbagai proses eksistensialnya sebagai individu, sang aktor
adalah juga cermin dari setiap individu lainnya. Dengan berbagai model
representasi, wajah dapat mewakili satu titik kecil dari universalitas manusia
dan, utamanya, gairah kita pada perbincangan tentang manusia.
Terakhir namun tak kurang penting, keempat wajah Sehan
adalah bagian representatif dari apa yang disebut keunikan individual.
Ejawantah pembuktian dari kebenaran memahami manusia sebagai yang pada awal dan
akhirnya adalah individu dengan segala keunikannya. Ketika kita mencoba
memahami seseorang dalam wajah-wajah yang dia perankan, kita akan menemukan
sebuah persona dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tulisan ini memuat
kedua sisi lebih dan kurang tersebut dalam dua bagian tulisan: Bagian pertama, Empat Wajah Sehan yang terdiri dari
empat tulisan dan bagian kedua Empat
Kekurangan Wajah Sehan yang juga terdiri dari empat tulisan yang akan
dimuat pada kali berikutnya.
Wajah Pertama: Seorang
Politisi
Sebagai politisi, Sehan memiliki lebih dari kemampuan untuk
mengukur diri terhadap batas ontologis politik. Sehan adalah figur politisi
yang cair dalam kemampuannya merembesi batas terluar politik. Manakala
kebanyakan politisi Bolaang Mongondow dan kemudian Gorontalo serta Sulawesi
Utara (tiga wilayah utama Sehan) berupaya untuk berdiam dalam batas kaku
politik, Sehan menerjemahkan langkah politiknya dalam wacana yang begitu cair
yang, karenanya, selalu keluar dari batas analisa politik.
Politik pada Sehan adalah sebuah lapangan permainan.
Contohnya, yang seru baginya bukanlah jabatan sebagai bupati tetapi pertaruhan
untuk menjadi seorang bupati. Dalam wajah politisinya, jabatan bupati seorang
Sehan Landjar adalah permainan politik dalam negosiasi antara gagasan,
kebijakan dan batas-batas administratif tindakan yang harus dia
pertanggungjawabkan sebagai pejabat publik. Itulah kenapa dalam kapasitasnya
sebagai bupati, Sehan terlihat cemas bukan pada hasil akhir kebijakan tapi pada
proses pembangunan itu sendiri. Dan dia menjalani proses itu dengan pendekatan
yang lebih bersifat politik daripada birokratis. Pendekatan yang terbebankan
secara soliter.
Problem yang muncul adalah manakala Sehan berani untuk
mengambil beban politik itu sendirian, para bawahan birokratnya tidak kunjung
menemukan cara untuk menerjemahkan beban itu menjadi kebijakan pembangunan yang
dapat melepaskan opini politik dari visi sang bupati. Itulah kenapa Bolaang
Mongondow Timur mudah menjadi lahan sengketa analitis yang meledak di halaman
koran dan media komunikasi publik lainnya. Sengketa ini tampak menjadi semakin
ruwet oleh tuntutan-tuntutan masyarakat berkaitan dengan berbagai masalah
pembangunan di wilayah itu. Sengketa yang kehilangan baik prioritas maupun
jargon.
Dan sengketa itu mengalir sebagai sebuah proses hanya dalam
rangkaian ketat yang dikampayekan Sehan dalam sekira tiga tahun pemerintahannya
hingga saat ini. Apa yang telah diberikan Sehan selama rangkaian waktu itu
bukan hanya jalan, bangunan atau PAD tapi juga sebuah pandangan ke depan yang
berpotensi meroketkan daerah pemerintahannya menuju puncak-puncak identitas
masyarakat Bolaang Mongondow Timur sebagai sebuah masyarakat politik yang utuh.
Akan tetapi, langkah ini mungkin yang paling kurang terbaca oleh kebanyakan
orang dari jejak politik seorang Sehan Salim Landjar.
Dalam sebuah model politik yang bingkai besarnya tampak
paling jelas lewat pembacaan kembali langkah Soekarno, minus ideologi-politik,
Sehan menjejaki langkahnya dengan potensialitas sekaligus resiko tersendiri.
Dalam model ini, Sehan selalu berpotensi menciptakan lawan dari luar maupun
dalam sambil terus memperkuat dukungan masyarakat banyak terhadap dirinya.
Intuisi politik Sehan telah mengingatkannya bahwa pertaruhan yang harus
diambilnya adalah permainan antara amanat historis sebuah wilayah politik yang
baru (bandingkan dengan Soekarno dan bayi RI) dengan harapan membentuk masa
depan (bandingkan dengan Soekarno dan nation
building). Ada yang menjadi prioritas, sedemikian hingga ada yang harus
diabaikan. Dan apa yang terabai dapat pula berarti mereka yang terabaikan. Maka
seperti Soekarno juga, Sehan pun menemukan lawan dari ruang gagasannya sendiri.
Tapi jika politik – setidaknya bagi Sehan – adalah lapangan
pertandingan, maka dia memang membutuhkan lawan untuk menyempurnakan permainan.
Persoalannya tinggal terletak pada aturan main. Di Boltim khususnya, dan
Bolmong Raya pada umumnya, aturan main itu tampaknya sedang dibuat. Sayang
media, dengan segala kepentingannya sendiri tidak bersegera membantu
memperjelas aturan main ini. Dan seperti Indonesia di awal berdirinya di mana
Soekarno muncul sebagai yang hanya satu, begitu jugalah yang terjadi dengan
Boltim saat ini (bahkan bisa jadi juga Bolmong Raya). Sehan tampaknya berdiri
sendiri dengan lawan-lawan politik yang tampak ragu di tengah arena bermain
yang kehilangan aturan.
Tapi bisa jadi juga, ini bukan semata persoalan arena
bermain atau aturan main, tetapi juga persoalan klasik dari sebuah wilayah
politik baru; Sehan memang belum menemukan lawan politik yang sepadan.