الاثنين، 11 فبراير 2013

Empat Wajah Sehan



Pengantar

Wajah Sehan adalah peran eksistensial yang dia mainkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebetapapun peran itu masih bersifat potensial dalam arti belum dapat sepenuhnya dia lakoni. Wajah Sehan dalam bingkai dan maksud tulisan ini adalah juga tema bagi pembicaraan tentang Sehan dalam amatan penulis. Tema yang daya tariknya terdapat dalam keterbukaannya untuk dieksplorasi demi lahirnya pengertian yang mendalam, bukan hanya tentang Sehan tapi juga tentang kaitan antara seorang manusia sebagai individu dengan peran (dalam wajah-wajah) yang telah, sedang dan akan dia lakoni.

Secara psikologis, wajah dan perannya adalah juga kepribadian; personae sebagai topeng. Ini berarti juga berbicara tentang sebuah lubuk dalam jiwa (karakter mental) seorang individu. Sehan adalah subyek sebagai aktor di atas panggung tulisan ini. Lepas dari berbagai proses eksistensialnya sebagai individu, sang aktor adalah juga cermin dari setiap individu lainnya. Dengan berbagai model representasi, wajah dapat mewakili satu titik kecil dari universalitas manusia dan, utamanya, gairah kita pada perbincangan tentang manusia.

Terakhir namun tak kurang penting, keempat wajah Sehan adalah bagian representatif dari apa yang disebut keunikan individual. Ejawantah pembuktian dari kebenaran memahami manusia sebagai yang pada awal dan akhirnya adalah individu dengan segala keunikannya. Ketika kita mencoba memahami seseorang dalam wajah-wajah yang dia perankan, kita akan menemukan sebuah persona dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tulisan ini memuat kedua sisi lebih dan kurang tersebut dalam dua bagian tulisan: Bagian pertama, Empat Wajah Sehan yang terdiri dari empat tulisan dan bagian kedua Empat Kekurangan Wajah Sehan yang juga terdiri dari empat tulisan yang akan dimuat pada kali berikutnya.

Wajah Pertama: Seorang Politisi

Sebagai politisi, Sehan memiliki lebih dari kemampuan untuk mengukur diri terhadap batas ontologis politik. Sehan adalah figur politisi yang cair dalam kemampuannya merembesi batas terluar politik. Manakala kebanyakan politisi Bolaang Mongondow dan kemudian Gorontalo serta Sulawesi Utara (tiga wilayah utama Sehan) berupaya untuk berdiam dalam batas kaku politik, Sehan menerjemahkan langkah politiknya dalam wacana yang begitu cair yang, karenanya, selalu keluar dari batas analisa politik.

Politik pada Sehan adalah sebuah lapangan permainan. Contohnya, yang seru baginya bukanlah jabatan sebagai bupati tetapi pertaruhan untuk menjadi seorang bupati. Dalam wajah politisinya, jabatan bupati seorang Sehan Landjar adalah permainan politik dalam negosiasi antara gagasan, kebijakan dan batas-batas administratif tindakan yang harus dia pertanggungjawabkan sebagai pejabat publik. Itulah kenapa dalam kapasitasnya sebagai bupati, Sehan terlihat cemas bukan pada hasil akhir kebijakan tapi pada proses pembangunan itu sendiri. Dan dia menjalani proses itu dengan pendekatan yang lebih bersifat politik daripada birokratis. Pendekatan yang terbebankan secara soliter.

Problem yang muncul adalah manakala Sehan berani untuk mengambil beban politik itu sendirian, para bawahan birokratnya tidak kunjung menemukan cara untuk menerjemahkan beban itu menjadi kebijakan pembangunan yang dapat melepaskan opini politik dari visi sang bupati. Itulah kenapa Bolaang Mongondow Timur mudah menjadi lahan sengketa analitis yang meledak di halaman koran dan media komunikasi publik lainnya. Sengketa ini tampak menjadi semakin ruwet oleh tuntutan-tuntutan masyarakat berkaitan dengan berbagai masalah pembangunan di wilayah itu. Sengketa yang kehilangan baik prioritas maupun jargon.

Dan sengketa itu mengalir sebagai sebuah proses hanya dalam rangkaian ketat yang dikampayekan Sehan dalam sekira tiga tahun pemerintahannya hingga saat ini. Apa yang telah diberikan Sehan selama rangkaian waktu itu bukan hanya jalan, bangunan atau PAD tapi juga sebuah pandangan ke depan yang berpotensi meroketkan daerah pemerintahannya menuju puncak-puncak identitas masyarakat Bolaang Mongondow Timur sebagai sebuah masyarakat politik yang utuh. Akan tetapi, langkah ini mungkin yang paling kurang terbaca oleh kebanyakan orang dari jejak politik seorang Sehan Salim Landjar.

Dalam sebuah model politik yang bingkai besarnya tampak paling jelas lewat pembacaan kembali langkah Soekarno, minus ideologi-politik, Sehan menjejaki langkahnya dengan potensialitas sekaligus resiko tersendiri. Dalam model ini, Sehan selalu berpotensi menciptakan lawan dari luar maupun dalam sambil terus memperkuat dukungan masyarakat banyak terhadap dirinya. Intuisi politik Sehan telah mengingatkannya bahwa pertaruhan yang harus diambilnya adalah permainan antara amanat historis sebuah wilayah politik yang baru (bandingkan dengan Soekarno dan bayi RI) dengan harapan membentuk masa depan (bandingkan dengan Soekarno dan nation building). Ada yang menjadi prioritas, sedemikian hingga ada yang harus diabaikan. Dan apa yang terabai dapat pula berarti mereka yang terabaikan. Maka seperti Soekarno juga, Sehan pun menemukan lawan dari ruang gagasannya sendiri.

Tapi jika politik – setidaknya bagi Sehan – adalah lapangan pertandingan, maka dia memang membutuhkan lawan untuk menyempurnakan permainan. Persoalannya tinggal terletak pada aturan main. Di Boltim khususnya, dan Bolmong Raya pada umumnya, aturan main itu tampaknya sedang dibuat. Sayang media, dengan segala kepentingannya sendiri tidak bersegera membantu memperjelas aturan main ini. Dan seperti Indonesia di awal berdirinya di mana Soekarno muncul sebagai yang hanya satu, begitu jugalah yang terjadi dengan Boltim saat ini (bahkan bisa jadi juga Bolmong Raya). Sehan tampaknya berdiri sendiri dengan lawan-lawan politik yang tampak ragu di tengah arena bermain yang kehilangan aturan.

Tapi bisa jadi juga, ini bukan semata persoalan arena bermain atau aturan main, tetapi juga persoalan klasik dari sebuah wilayah politik baru; Sehan memang belum menemukan lawan politik yang sepadan.